Beranda | Artikel
Manfaat Mengimani Nama Allâh Subhanahu Wa Taala Al-Azhîm
Senin, 25 Maret 2019

MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA “AL-AZHIM”

Oleh
Abu Abdillah Hamzah an-Nayili[1]

Mengimani nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala serta kandungan maknanya yang agung akan membuahkan banyak manfaat dalam hati hamba yang mengimaninya. Diantara manfaat ini ada yang bisa dipetik hasilnya dalam kehidupan di dunia dan ada pula yang ditunda perolehannya dalam kehidupan abadi di akhirat. Oleh karena itu, al-Izz Abdussalam rahimahullah mengatakan, “Mengetahui nama-nama Allâh yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi merupakan amalan termulia dan terbaik hasilnya.”[2]

Untuk itu pula, pada kesempatan kali ini, kami ingin menyebutkan beberapa manfaat yang bisa dipetik oleh orang yang beriman dari pohon pengetahuannya terhadap salah satu dari nama Allâh Azza wa Jalla yaitu al-‘Azhîm :

1. Menetapkan sifat keagungan yang hanya layak untuk Allâh Azza wa Jalla , tidak ada seorangpun atau sesuatupun yang menyerupai keagungan-Nya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. [Asy-Syura/42:11]

Agung atau keagungan adalah sifat dzatiyah Allâh Azza wa Jalla (sifat yang tidak pernah lepas dari Allâh Azza wa Jalla). Sifat ini merupakan sifat pujian dan sifat kesempurnaan yang tidak bisa diketahui hakikatnya oleh siapapun juga, tidak terjangkau pikiran manusia juga tidak bisa digambarkan.

Penegak sunnah al-Asbahani rahimahullah mengatakan, “Diantara nama Allâh Azza wa Jalla adalah al-‘Azhîm (Yang mahaagung). Agung adalah salah satu sifat Allâh Azza wa Jalla yang tidak bisa ditandingi oleh satu makhluk pun. Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan sifat agung ditengah para mahkluknya. Dengan sifat itu mereka saling mengagungkan. Diantara manusia ada yang diagungkan karena hartanya; Ada yang diagungkan karena memiliki kelebihan; ada yang diagungkan karena memiliki ilmu; Ada yang karena kekuasaan dan ada juga yang disebabkan oleh wibawa yang dimilikinya. Masing-masing orang diagungkan karena suatu sebab bukan karena sebab yang lain, sementara Allâh Azza wa Jalla diagungkan dalam segala keadaan dan waktu.”[3]

Al-Imam al-Azhari rahimahullah mengatakan, “Diantara sifat Allâh Azza wa Jalla adalah yang maha tinggi dan maha agung … Keagungan Allâh Azza wa Jalla tidak bisa dijelaskan bagaimananya, tidak bisa dibatasi dan juga tidak diumpamakan dengan sesuatu apapun. Kewajiban para hamba adalah mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla itu maha agung sebagaimana Allâh Azza wa Jalla menyifati diri-Nya dengan sifat itu, tanpa kaifiyah (tanpa menanyakan bagaimananya?) dan tanpa batasan.”[4]

2. Menghambakan diri dan berdoa dengan menggunakan nama-Nya al-‘Azhîm.
Kita menghambakan diri dengan nama-Nya dengan mengatakan, “Abdul ‘Azhîm“, tidak dengan sifat-Nya. Jadi, seseorang tidak boleh mengatakan, ‘Abdul ‘Azhamah.’[5]

Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla juga diseru dengan menggunakan nama-Nya (bukan dengan sifat-Nya). Kita mengatakan:

يَا عَظِيْمُ ارْحَمْنَا

Wahai Allâh yang Mahaagung! Berilah kami rahmat-Mu

Kita tidak boleh menyeru Allâh Azza wa Jalla dengan menggunakan sifat-Nya, misalnya dengan mengatakan, “Ya ‘Azhamatallâh! Irhamna.” (Wahai keagungan Allâh! Berilah kami rahmat-Mu).

Keagungan hanyalah sebuah sifat, bukan Allâh Azza wa Jalla itu sendiri.

3. Meniadakan atau menolak keberadaan para sekutu bagi Allâh Azza wa Jalla .
Tidak boleh menyekutukan apapun dengan-Nya dan tidak boleh memberikan segala yang menjadi hak Allâh Azza wa Jalla kepada selain-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia [Al-Ikhlash/112:4]

4. Bisa khusyu’, khudhu’ (tunduk), tenang dan merendahkan diri kepada keagungan dan kekuasaan-Nya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah  menerangkan kepada kita keadaan orang yang sedang shalat saat beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dalam posisi ruku’, “Kemudian dia kembali menekuk punggungnya, tunduk kepada keagungan Allâh Azza wa Jalla , menghinakan diri kepada kemuliaan Allâh Azza wa Jalla serta tunduk kepada kekuasaan-Nya sambil bertasbih dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla (yaitu) al-Azhîm.”

5. Senantiasa bisa memuji Allâh Azza wa Jalla dengan nama-Nya al-‘Azhîm serta memohon pertolongan kepada-Nya dengan nama-Nya tersebut.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha Agung (besar). [Al-Wâqi’ah/56:74]

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki masjid, Beliau n membaca doa:

أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Aku berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla al-‘Azhîm (yang mahaagung), wajah-Nya yang mahamulia dan kekuasaan-Nya yang langgeng dari kejahatan syaitan yang terkutuk.[6]

Oleh karena itu, seyogyanya bagi soerang hamba untuk mensucikan Rabb dari segala yang tidak sesuai dengan keagungan kuasa-Nya. Caranya yaitu dengan menyebutkan berbagai sifat keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya. Karena sesungguhnya tidak ada yang pujiannya bisa mendatangkan manfaat dan menambahkan keindahan sesuatu yang dipijinya itu serta tidak yang celaannya akan mendatangkan bahaya dan memperburuk sesuatu yang dicela itu selain pujian dan celaan Allâh Azza wa Jalla .

Dari Barra’ bin Âzib, dia mengatakan, “Ada seorang lelaki berdiri dan mengatakan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya pujianku[7] bisa membuat sesuatu itu indah dan celaanku menjadikannya jelek.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah Allâh Azza wa Jalla .”

6. Mengagungkan perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla itu wajib ditaati bukan dimaksiati, wajib diingat bukan dilupakan dan wajib bersyukur kepada-Nya bukan dikufuri. Termasuk dalam kategori ini adalah mengagungkan nash-nash al-Qur’an dan sunnah, tunduk kepadanya dan tidak lancang mendahului Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, baik dengan pendapat atau ijtihad. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu! Mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisa’/4:65]

Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla menyampaikan kabar yang diantara kandungannya adalah perintah dan motivasi untuk taat dan tunduk kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . (karena) tujuan diutusnya seorang rasul yaitu agar ditaati dan orang yang menjadi obyek dakwahnya taat kepada semua perintah dan larangan mereka. Juga agar para rasul itu diagungkan sebagaimana orang taat mengagungkan orang yang ditaati.”[8]

7. Mengagungkan syi’ar-syi’ar dan kehormatan Allâh Azza wa Jalla.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. [Al-Hajj/22:32]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jadi perbuatan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah itu bersumber dari ketakwaan yang di dalam hati. Orang yang mengagungkan tersebut menunjukkan bukti ketakwaannya dan kebenaran imannya, karena mengagung syi’ar-syi’ar Allah Azza wa Jalla itu berarti mengagungkan Allah Azza wa Jalla”[9]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

Demikianlah (perintah Allâh). dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allâh, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. [Al-Hajj/22:30]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa menjauhi perbuatan maksiat dan hal-hal yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla serta merasa bahwa melakukan pelanggaran adalah masalah yang besar.

فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ 

Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya.

Maksudnya, dia berhak mendapatkan pahala yang banyak dan besar. Sebagaimana perbuatan taat bisa mendatangkan pahala yang banyak maka begitu juga meninggalkan semua yang diharamkan dan menjauhi semua dilarang.”[10]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Karena mengagungkan semua yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla termasuk perbuatan yang disukai oleh Allâh Azza wa Jalla , bisa mendekatkan pelakunya kepada Allâh Azza wa Jalla yang barangsiapa mengagungkan dan memandang besar semua yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan ganjaran pahala yang besar. Dan itu yang terbaik baginya, dalam agamanya, dunia, akhiratnya disisi Rabbnya.”[11]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya pengagungan terhadap Allâh Azza wa Jalla yang tertanam dalam hati seorang hamba dan pengagungan terhadap semua yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla bisa menghalangi seorang hamba dari berbagai perbuatan dosa. Adapun orang yang berani melakukan perbuatan maksiat berarti dia tidak menghargai Allâh Azza wa Jalla sebagaimana mestinya.”[12]

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Termasuk kezhaliman yang paling berat dan kebodohan yang sangat parah jika engkau menuntut orang lain mengagungkan atau memuliakanmu sementara hatimu sama sekali tidak mengagungkan Allâh Azza wa Jalla .”[13]

8. Ketika hendak melakukan perbuatan maksiat hendaknya si pelaku melihat kehormatan dan keagungan Dzat yang akan dia maksiati. Dan sesungguhnya perbuatan itu sebentuk pelanggaran terhadap kehormatan-Nya.

Imam pembela sunnah al-Ashbahani t mengatakan, “Orang yang mengetahui hakikat keagungan Allâh Azza wa Jalla seyogyanya dia tidak mengucapkan kalimat yang dibenci oleh Allâh Azza wa Jalla , dan semestinya tidak melakukan perbuatan maksiat yang tidak diridhai Allâh Azza wa Jalla . Karena Allâh Azza wa Jalla akan menegakkan hukum atas semua jiwa sesuai dengan perbuatannya.”[14]

Setelah kita mengetahui beberapa manfaat yang bisa dipetik dari keimanan kepada nama Allah al-‘Azhim, terkadang timbul pertanyaan dalam diri kita, ‘Apakah kita ini termasuk orang-orang yang mengagungkan Allah k ataukah tidak? Jika jawabnya, tidak, lalu bagaimana caranya agar kita menjadi orang-orang yang mengagungkan Allah Azza wa Jalla ? Jawabnya ada pada makalah berikutnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XXI/1439H/2018M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Dari kitab Tanbîhul Ummah ‘ala Masâ-ila wa Ahkâm Syar’iyah Muhimmah, 1/36-41
[2]  Syajaratul Ma’ârif wal Ahwal karya al-Izz bin Abdussalam, hlm. 18
[3]  Al-Hujjah fi Bayânil Mahajjah, 1/130
[4]  Tahdzîbul Lughah, 2/303
[5]  Abdurrahîm atau Abdurrahman bukan ‘Abdurrahmah, ‘Abdurrauf bukan Abdurra’fah dan lain sebagainya-red
[6] HR. Abu Daud, no. 466 lewat jalur Uqbah bin Muslim dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma . Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah
[7] Orang ini bermaksud memuji dirinya sendiri dan memamerkan kedudukannya yang tinggi. Dia mengatakan bahwa jika dia memuji sesuatu maka pujiannya terhadap sesuatu itu akan menjadikan sesuatu itu terpuji dan indah. Sebaliknya, jika dia mencela sesuatu, maka sesuatu itu akan menjadi tercela dan dipandang buruk oleh orang.
[8]  Tafsir as-Sa’di, hlm. 184
[9]  Tafsir as-Sa’di, hlm. 538
[10]  Tafsir Ibnu Katsir, 5/419
[11]  Tafsir as-Sa’di, hlm. 538
[12]  Al-Jawâbul Kâfi, hlm. 46
[13]  Al-Fawâ-id, hlm. 187
[14]  Al-Hujjah fi Bayânil Mahajjah, 1/142


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11361-manfaat-mengimani-nama-allah-subhanahu-wa-taala-al-azhim.html